Setelah mencoba untuk menerima diri sendiri apa adanya dan belajar untuk lebih Tawakkal sehingga lebih belajar untuk legowo dan lepas diri dari hasil akhir, ada satu hal yang dikombinasikan: Lebih optimis, berharap setinggi-tinggi-nya ke Allah.
Sebenarnya ini membingungkan, karena seperti bertolak belakang dengan konsep tawakkal. Kita sudah melepas ke Allah, tapi kok masih berharap?. Dari yang aku pelajari, ini sebenarnya salah kaprah atas tawakkal. Kita memang melepas diri atas hasil akhir, tetapi bukan berarti kita berhenti berharap; justru kita tetap berharap yang terbaik ke Allah, tapi hasil akhirnya ya kita pasrahkan ke Allah.
Semisal terkabul, alhamdulillah. Semisal tidak, alhamdulillah. Karena Allah ganti dengan hal yang lebih baik. Walau mungkin saat itu kita kira bukan hal yang baik, namun Allah lebih tahu.
Sebagai hamba, tentu banyak rasa yang dicurahkan ke Allah: Cinta, Harap, cemas, takut, pasrah, semua bergabung jadi satu. Menerapkan hanya sebagian atau bahkan satu saja, akan tidak sempurna.
Jika kita hanya takut kepada Allah, kita akan merasa putus asa.
Jika kita hanya berharap, kita akan menggantungkan harapan tanpa berusaha.
Jika kita hanya cinta saja, kita akan lupa kalau kita bisa saja salah, dan lupa takut akan azab-Nya.
Kita berusaha, tetapi kita juga tidak lupa untuk berharap. Dan karena kita tawakkal, apapun hasilnya kita lebih optimis. Dan kita jadi berani untuk berharap setinggi-tingginya, tanpa kompromi diri sendiri.
Kita menjadi jujur dengan diri sendiri, apa yang sangat kita inginkan. Walaupun misal harapan yang kita lihat tersebut sangat tinggi dan terlihat tidak mungkin, kita tawakkal kepada Allah, dan terus berusaha. Semisal ternyata di akhir kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tersebut dan jadi kecewa, kita tetap tidak menyesal telah berharap dan berusaha; karena kita tahu kalau misal apa yang terjadi itu dari Allah.
Dan ini adalah sikap tengah-tengah dari kedua sisi ekstrim: Melepas sepenuhnya dan masa bodoh, atau terlalu berharap dan akhirnya mengekang. Kita tetap optimis, berharap dengan berani, dan siap menerima konsekuensi kecewa di akhir.
Ada pengalaman, saat aku merasa sudah berusaha sangat kencang untuk mendapat nilai A+ di salahsatu mata kuliah. Aku sebelumnya masa bodoh dan berpikir untuk berharap yang minimum saja (A). Berharap hal yang paling aman agar aku tidak kecewa. Tapi di akhir, melihat perkembangan nilai yang didapat, aku mulai memberanikan diri berharap bisa dapat A+; berdo'a dan tawakkal. Walau misal kemungkinannya sangat tipis.
Total skor akhir, nilaiku kurang 0.75 dari A+.
Kecewa? tentu. Tapi aku tidak menyesal untuk berharap.
Dan tahukah? di Kartu Hasil Studi, dosennya berbaik hati membulatkan ke atas. Sehingga aku bisa dapat A+.
Lebih tidak kecewa lagi untuk berharap.
Mungkin ini hal kecil sih, tapi imbasnya aku jadi lebih optimis. Untuk banyak hal, aku lebih percaya diri dan tidak takut untuk berharap akan hal-hal yang sebelumnya aku takut, terutama untuk hal terkait masa depan yang belum pasti. Tapi aku optimis, Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku, dan akupun juga harus membuktikan keyakinan tersebut dengan berani berharap ke Allah.
Karena sejatinya, Allah tergantung prasangka Hamba-Nya. kalau kita berprasangka yang terbaik, Allah juga akan membalas dengan yang terbaik.