image-logo
Bahagia tiap orang itu berbeda-beda ya. Tapi buat kebanyakan orang, bahagia itu ada standarnya tersendiri.
post
/post/bersyukur-tidak-harus-menunggu-standar-tercapai/
Bersyukur Tidak Harus Menunggu Standar Tercapai

Bersyukur Tidak Harus Menunggu Standar Tercapai

Bahagia tiap orang itu berbeda-beda ya. Tapi buat kebanyakan orang, bahagia itu ada standarnya tersendiri.

Misal, jika belum menikah, dikatakan "kalau ga nikah ga bisa bahagia". Pas udah nikah, dikatakan "kalo ga punya anak ga bahagia". Kalo udah punya anak, dikatakan "anak ga kurang cuma 1?". Dan seterusnya sampai kiamat datang.

Q4 2021 kemarin (September - Desember) membuat ane mikir banget sih soal ini. Perkataan orang -yang bisa jadi tidak mengetahui kondisi dan situasi kita saat ini, hanya berbicara sesuai stereotipe yang ada. Bisa jadi, walau sebenarnya kondisi kita tidak seperti kebanyakan orang, kita dapat -dan mungkin sudah, bahagia, Tetapi karena perkataan orang yang tidak tahu apa-apa soal diri kita, kita langsung merasa ada yang kurang dalam hidup kita.

Mulai dari Mensyukuri Apa yang Dimiliki

Pada dasarnya, manusia itu tidak pernah puas.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)

Perumpamaan, kita kalo kerja hanya jalan kaki, membuat ingin punya motor. Saat punya motor, ingin punya mobil. punya mobil, ingin punya mobil yang lebih bagus lagi. Rasa puasnya hanya diawal-awal saja, yakni saat memiliki sesuatu yang baru. Ketika "sesuatu yang baru" tersebut sudah menjadi "rutinitas", kita tidak merasakan spesialnya lagi.

Bisa jadi, di belakang kita ada yang sama irinya dengan kita, tetapi tidak mampu untuk mendapatkanya. Ketika kita iri dengan pemilik mobil, di belakang kita ada pejalan kaki yang iri dengan motor yang kita tumpangi. Namun bedanya, bisa jadi ia tidak sanggup membelinya karena berbagai alasan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

“Pandanglah orang yang berada di bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian. Hal itu lebih layak membuat kalian tidak mengingkari nikmat Allah yang ada pada kalian.” HR. Al-Bukhari (6490) dan Muslim (2963) dan ini lafazh beliau.

Ketika kita hanya melihat ke atas, kita mendustakan semua nikmat yang Allah berikan ke kita, seolah-olah kita orang yang paling miskin di dunia ini. Seolah-olah kita selalu kekurangan. Ketika kita merasa seperti itu, cobalah lihat ke bawah; pengemis, buruh, disabilitas, atau mungkin keluargamu yang paling dekat, yang belum tentu mendapat rezeki berlebih seperti kita.

Karena belakangan lagi libur, ane jadi merenung soal ini. Terkadang lingkungan yang terlalu nyaman juga bisa membuat lupa soal hal ini, jadi kita lebih fokus lihat ke atas dibandingkan bawah kita. Ini, yang ane rasakan semenjak bekerja. Memang mungkin kenyamanan dan kenikmatan bisa membutakan.

Bersyukur dapat membawa kelapangan dan kebahagiaan hidup

Mungkin sudah jelas, tapi perlu dikatakan ulang: bersyukur dapat membawa kebahagiaan hidup dan ketenangan karena kita sudah cukup dan menerima rezeki dari Allah.

Pada dasarnya, Rezeki kita sudah ditentukan oleh Allah, jadi untuk kebutuhan dasar, insyaAllah akan terpenuhi semua. Yang membuat kurang adalah hal-hal di luar rezeki kehidupan kita. Makanya ada yang namanya rezeki dari usaha.

Sesedikit apapun rezeki kita, selama halal, maka dapat disyukuri. Kalau kita menunggu seluruh keinginan kita terpenuhi baru bersyukur -apalagi keinginan tersebut bukan keinginan utama, maka kita tidak akan pernah belajar untuk mensyukuri nikmat yang kecil; mempersempit hati dan menutup kebahagiaan hidup kita sendiri.

Hati selalu terasa hampa, haus akan keinginan yang tidak berujung. Akhirnya walau seluruh kebutuhan kita sudah terpenuhi, keinginan yang paling tinggi sudah tercapai, kita tidak pernah puas. Naudzubillah min dzalik.

Langsung saja mulai bersyukur atas segala hal yang dimiliki sekarang; Walau mungkin belum sesuai ekspektasi, tetapi setiap yang didapat itu -rezeki yang diperoleh, patut disyukuri; gaji, uang dagangan, waktu bersama keluarga dan orang tersayang, dan -yang paling sederhana, indra yang sempurna. Dapat mendengar dengan baik, melihat dengan jelas. Itu pun patut disyukuri. Terkadang kita lupa, kalau tidak semua orang mendapat nikmat mendengar dan melihat dengan baik karena sepertinya sebagian besar di lingkungan kita memiliki indra normal semua.

Mulai Bersyukur tidak harus menunggu Standar Masyarakat Tercapai

Terkadang, hal yang menghalangi kita bersyukur itu bukan karena kita merasa tidak puas; bisa jadi kita sebenarnya puas, tapi karena standar kehidupan yang ada tidak sesuai dengan kondisi kita saat ini, yang membuat kita menjadi kurang bersyukur.

Yang makanya, seperti paragraf pembuka Ane di atas, kalau misal terlalu mengikuti stereotipe, jadinya kurang bersyukur. Yang ane ngeri, kita sendiri yang membuat orang lain bahkan diri kita sendiri jadi kurang bersyukur, karena memaksa untuk mengikuti standar yang ada.

Paling gampang orang yang single sih. Banyak yang bilang single membuat tidak bahagia, dan saat sudah menikah itu akan selalu bahagia. Padahal belum tentu begitu. Pernikahan itu artinya menanggung suka dan duka bersaha, tidak hanya manisnya saja. Kalau misal sembarang menikah karena agar bahagia, tapi tidak siap dengan komitmen yang ada, kesian.

Jujur lidah itu bahaya ya kalau tidak dijaga. Dapat merusak kebahagiaan orang lain dan diri sendiri. Tapi kalau dipakai dengan baik, dapat meningkatkan kebahagiaan dan manfaat ke orang lain dan diri sendiri.

Karena itu, bersyukur dengan keadaan diri kita sekarang itu bagus, walau belum tentu sesuai dengan stereotipe. Membuat hati lapang dan hidup lebi bahagia.

Semoga kita jadi orang yang lebih bersyukur, dan lebih menjaga lidah kita untuk kebaikan bersama. Aamiin.

Penulis: Riza Kariza