image-logo
Beberapa tanggapan mengenai budaya barat (case study: Australia) setelah melihat dan hidup langsung disana, serta membandingkan dengan pengalaman pribadi di Indonesia.
post
/post/budaya-barat/
Budaya Barat: Kemajuan atau Kemunduran?

Budaya Barat: Kemajuan atau Kemunduran?

Aku suka mencari informasi dari internet, dengan bahasa inggris. Menurutku, hasil dari internet itu lebih modern dan futuristik. Banyak hasil yang lebih maju dan masuk akal secara rasional. Mudahnya, banyak yang lebih masuk akal dan efisien.

Sebagai orang yang suka membaca dan meneliti, Aku sangat jeli dalam hal ini. Tidak terbatas untuk hal berbau ilmu dan pekerjaan, tetapi juga kehidupan. Contoh: soal kucing.

Dulu, aku sangat ingin memelihara kucing. Tergoda dengan postingan-postingan lucu di IG.

Seperti yang biasa aku lakukan sebelum memutuskan sesuatu: Aku melakukan research segala hal soal kucing di internet. Mulai dari memahami tingkah lakunya, yang harus dilakukan ketika memelihara kucing, bagaimana mengasuh kucing, dan lainnya. Poinnya agar mempersiapkan diri dengan sematang-matangnya.

Lalu ada satu hal yang menarik perhatianku, yakni soal kebiri kucing. Membaca argumentasi kenapa harus mengebiri kucing peliharaan. Alasannya demi kebaikan kucing tersebut; seperti agar kucing tersebut tidak buang air sembarangan, beranak pinak tidak terkontrol, dan agar kucingnya lebih tenang. Alasan-alasan tersebut masuk akal.

Selang beberapa waktu, Aku mulai memelihara kucing, aku mulai memikirkan ulang pendapat-pendapat tersebut. Pasalnya, dibandingkan melihat kucing tersebut sebagai peliharaan atau mainan, aku melihat kucing tersebut sebagai sesama makhluk hidup. Dan sebagai sesama makhluk hidup, aku tidak bisa sembarangan menghilangkan hasrat kucing tersebut hanya karena keinginanku sebagai manusia. Aku sempat diskusi juga soal ini dengan temanku. Hingga akhir, aku tetap membiarkan kucing tersebut tanpa dikebiri.

Tapi intinya, aku jadi meragukan informasi yang aku dapat di internet. Karena adanya ketimpangan antara pola pikir yang aku miliki dan informasi yang aku baca, seperti soal kebiri kucing di atas dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kultur dan etika. Tapi aku tidak memikirkan terlalu banyak soal itu, dan tetap memanfaatkan internet walau dengan hati-hati.

Lalu semuanya berubah, semenjak aku ke Australia.

Di Australia -aka. negara barat, aku melihat langsung bagaimana seluruh penerapan dari ilmu-ilmu yang aku baca di internet tersebut. Dari luar, semuanya indah dan teratur.

Beberapa yang bisa kutemukan:

Ruang Publik yang Ramah Pejalan Kaki

Disini semuanya serba rapih. Ruang hijau banyak, ramah pejalan kaki, dan transportasi umumnya bisa mengakses banyak tempat. Jadi dari ujung Sydney ke Ujung NSW bisa naik transport umum? Mantep.

Administrasi yang Sistematis

Lupakan soal sistem administrasi indonesia yang ribet. Disini semuanya rapih; Kita bisa lihat secara online semua informasi yang dibutuhkan baik untuk urusan administrasi ataupun informasi lainnya. Sebagai tech nerd, tentu ini bagai mimpi menjadi nyata sekali.

No Drama-drama with peoples

Ini mungkin yang paling pembeda sih: Orang-orang disini biasa mengatakan maksudnya dengan to-the-point, tanpa drama-drama. Dan karena semuanya serba to-the-point, untuk komunikasi serba lancar dan lebih mudah memahami maksud-maksudnya, tanpa harus menerka-nerka.

Pemandangan yang memukau, administrasi yang sistematis dan teratur, transportasi umum yang saling terhubung, dan improvement-improvement yang sungguh teratur. Intinya, hidup disini seperti mimpi saking nyamannya. Gimana ya, setelah bertahun-tahun lihat macet dan pemandangan kurang asri di Jakarta, lihat kota besar di Australia dengan ruang hijau yang banyak dan ramah untuk pejalan kaki itu sungguh nikmat.

Tapi... itu luarnya.

Setelah lama disini, mulai terasa kalau dalamnya berbeda. Tepatnya, perbedaan kultur.

Individualisme

Di sini, individualisme terasa kental sekali; semuanya hidup dalam bubble masing-masing. Di jalan, hampir semua orang sibuk dengan headset-nya masing-masing. Ditambah, Karena semua hal sudah bisa otomatis (seperti self-service checkout di supermarket), interaksi antar manusia jadi minim.

Karena interaksi antar manusia minim, Interaksi kasual hampir tidak ada. Semuanya fokus kepada dirinya masing-masing. Jadinya, kita bebas melakukan apapun yang kita mau. Salto atau kayang di tengah jalan juga tidak ada yang peduli.

Tapi jadinya, jika kita ada masalah, akan bingung minta tolong ke siapa. Karena semuanya serba sendiri. Makanya, di Australia banyak kasus depresi dan kesepian. Bahkan misal ada yang meninggal di rumah sendirian, itu bisa ketahuannya beberapa hari kemudian.

Walau di Indonesia, kota-kota seperti Jakarta mulai terasa individualis, tapi komunikasi ke orang lain -termasuk orang asing, masih mudah. Seperti misal komunikasi ke satpam atau tetangga sekitar. Kita tidak akan kebingungan jika ingin minta tolong. Lempar senyum ke orang asing juga masih mudah.

Lalu gotong royong! Aku baru tahu kalau misal gotong royong itu hanya ada di Indonesia. pantas saja aku heran kok di Australia jarang yang inisiatif bantu-bantu di luar kewajiban?

Toleransi Berlebihan atas Semua Hal

Imbas dari individualistis, Australia meyakini tiap-tiap individu punya hak dan kondisinya masing-masing. Alhasil, tingkat toleransi disini sangatlah besar.

Wait, bukannya itu bagus? Masalahya, toleransi disini itu terlalu berlebihan, bahkan pada hal yang tergolong masalah yang perlu dihadapi. Jika kita memiliki rasa sakit, bukananya dicari sebabnya dan obati hal tersebut, tapi saran paling pertama yang diajarkan adalah mengobati akibatnya. Alhasil, walau rasa sakit yang dirasakan berkurang atau hilang, tapi tidak sepenuhnya sembuh.

Contoh: Kolestrol berlebihan? bisa minum obat anti kolestrol (dibandingkan mengurangi makanan berlemak atau bersantan). Stress dan depresi? minum obat anti depresi (dibandingkan belajar merubah pola pikir).

Toleransi menyimpang yang dimaksud, adalah menerima bahwa tidak apa-apa jika kita tidak kuat melawan masalah kita; kita bisa lari dan menghindar dari masalah tersebut dan menghilangkan rasa sakit yang dirasakan dengan obat atau apapun itu. Selama kita masih bisa menikmati kenikmatan yang kita inginkan, dan kalau misal bisa mudah diselesaikan dengan itu, untuk apa mengobati akar masalahnya? itu berat.

Padahal, mengobati akibat, walau mudah, tidak menyembuhkan; kedepannya masalah tersebut akan terus muncul. Bahkan, daya tahan kita terhadap masalah tersebut akan makin kecil, karena kita tidak melatih diri kita untuk menghadapi masalah tersebut.

Ini seperti kebalikan dari Indonesia, dimana kalau misal kita ada masalah, yang disarankan adalah mengobati sebabnya. Disini diajarkan untuk berusaha mengatasi masalah yang kita hadapi. Walau misal berat, tapi langkah yang dilakukan benar. Mungkin karena itu banyak orang indonesia yang aslinya tangguh-tangguh.

Ironisnya, ini juga mungkin karena Indonesia tidak semaju Australia, yang menyediakan obat-obatan dan solusi instant tersebut secara luas. Memang keuntungan dalam kesempitan.

Keteraturan dan Rasionalisme adalah Segalanya

Ingat soal kucing di atas? Di Australia, sudah ada aturan kalau kucing tidak boleh berkeliaran liar di jalanan. Pandangan orang-orang sini adalah "kasihan kucing kalau dibiarkan di luar, tidak aman. Nanti kena penyakit, atau susah cari makan. mending di dalam rumah aja lebih aman". Kucing liar tersebut, mereka ditangkap dan dikurung sampai ada yang mau pelihara mereka. Seperti itu bukannya sama saja kasihan kan? Lalu, ada aturan juga tidak boleh memberi makan kucing liar. Yep, ada hukumnya!

"Tapi, kalau misal ditaruh luar nanti sakit, nanti susah cari makan, kasihan dong?" Coba gini, yang memberi makhluk hidup makan siapa? Yang menjaga dan mengatur rezeki tiap-tiap makhluk dan takdirnya siapa?

Oh iya lupa, konsep agama dan ketuhanan hampir tidak dianggap di negara barat seperti Australia. Manusia bertanggung jawab penuh sebagai pengatur segala hal, dan Akal dan Rasionalitas sebagai Tuhannya. Segala yang tidak bisa dijelaskan secara logika, dianggap tidak ada.

Sungguh berbeda dengan Indonesia konsep agama dan ketuhanan masih berakar. Pun dengan konsep bantu membantu yang tidak memperhitungkan timbal balik. Dan karena itu juga, fleksibilitas dan keringanan orang sini itu sangat tinggi. Lebih luwes dan tidak kaku. Walau mungkin luarnya berantakan ya.

Itulah kombinasi antara kultur timur yang berakar, ajaran agama, dan budaya khas indonesia seperti gotong royong.


Ketiga poin di atas, adalah bagian dari budaya barat. Budaya yang dari luar terlihat maju, namun dari dalamnya terlihat mulai berkarat. Berbeda dengan budaya-budaya Indonesia, yang mungkin jika dilihat dari luar tidak indah, bahkan jelek dan banyak masalah, tetapi untuk ajaran intinya masih tertanam kuat: ajaran kemanusiaan.

Mungkin karena Indonesia gabungan dari kultur Timur dan Islam, pindah ke negara barat yang bertolak bekang, rasanya seperti jatuh ke dunia asing.

Walau kalau ingin realistis, banyak juga yang merantau ke sini untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, karena di negara asalnya (termasuk orang Indonesia) tidak bisa mendapat uang dan kehidupan sebanyak di Australia ini.

Hanya saja, makin lama kita menetap di suatu tempat baru, akan butuh adaptasi lagi untuk kembali ke asal. Tidak hanya untuk kita, tapi juga untuk keturunan-keturunan kita nanti ke depannya. Mereka akan menganggap tempat mereka saat ini sebagai rumah mereka, dan asing dengan negara asal mereka.

Namun, seperti dalam segala hal, sesuatu ada positif dan negatifnya. Pada akhirnya, kembali ke value yang kita miliki: apakah kita mengedepankan value intrinsik, atau kita lebih mementingkan penampilan dan kemakmuran luar? Apapun pilihannya, tentukan untuk jangka panjang; karena banyak yang terlena dengan manfaat yang didapat dari jangka pendek, tetapi menyesal tidak berpikir lebih matang setelah jangka panjang.

Namun, sebagai orang Islam, ketika ditimpa pilihan antara pindah total ke negara kafir dengan segala manfaat dan keindahan duniawinya, dengan menetap di negara muslim agar keimanan terjaga, walau dengan segala kekurangan ekonominya, cukuplah hadist ini menjadi pengingat:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)

Memang penting sekali, untuk bisa mensyukuri hal kecil yang kita miliki.

Aku? tentu saja tim Indonesia. sudah ada tulisan yang menjelaskan juga kenapa.

Dan mungkin, dengan ini, aku akan coba untuk lebih menapak tanah: melihat langsung keadaan sesuai realitanya dan adaptasi dari sana, dibanding menerapkan ajaran dari internet sepenuhnya tanpa disesuaikan dengan kenyataan.

Penulis: Riza Kariza