Tulisan pertama dari percobaan vakum ane selama bulan Maret 2020.
- Vakum mencatat keuangan,
- Vakum mencatat to-do list,
- Vakum informasi.
Untuk permulaan, ane dari dulu terbiasa untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan ane. kira-kira... berapa tahun ya? sekitar 3 tahun kali ya. Dari situ, ane jadi tahu berapa pengeluaran bulanan ane, ane banyaknya mengeluarkan uang untuk apa (uhuk, snack). berapa utang yang ane punya, dan lainnya.
Cuma entah kenapa, ane merasa percuma saja mencatat keuangan rutin tersebut kalau tiap bulan uang ane juga selalu hampir habis. maksud ane, pencatatan keuangan kan tujuannya untuk memanajemen uang agar keluar lebih baik.
Dari situ ane memutuskan, untuk 1 bulan, ane akan vakum mencatat pengeluaran ane. Kecuali mungkin catat utang.
bukannya kalau nggak catat pengeluaran, jadinya malah risiko makin boros ya? iya ane juga mikir begitu sebenarnya, makanya selama 1 bulan ane tidak melakukan pengeluaran, ane membatasi diri ane untuk tidak jajan secara impulsif. maksudnya, tidak mudah terpengaruh diskon/promosi/persuasi orang-orang. Kadang suka menyesal sendiri beli sesuatu secara impulsif karena berpikir butuh, tapi sebenarnya tidak butuh-butuh banget. Akhirnya, yang dibeli malah jadi sia-sia.
Dan berjalanlah vakum 1 bulan tersebut...
Hasilnya? Pengeluaran ane alhamdulillah aman-aman saja dengan cara ini. ironisnya, ane seolah lupa kalau biasanya ane selalu catat uang. tidak terpikir untuk catat sama sekali.
Kalau diingat-ingat lagi, ane sebenarnya tidak begitu memerhatikan daftar keuangan ane yang sudah lampau, kecuali untuk melihat utang-piutang atau mempelajari pola pengeluaran ane (yang itu pun dulu, karena pola pengeluaran ane dari dulu hingga sekarang sama saja). Rasanya jadi serasa konyol mencatat pengeluaran pribadi untuk orang biasa seperti ane. Kalau misal ane bisnis atau mengatur keuangan rumah tangga, mungkin masih masuk akal ya.
Dari percobaan vakum ini, ane jadi yakin, sebenarnya yang terpenting itu bukannya mencatat keuangan itu sendiri, tetapi manajemen personal. Akan tidak ada hasilnya pencatatan keuangan tersebut kalau tidak diimbangi dengan manajemen personal.
Manajemen personal seperti apa?
Mengatur budget
Tiap menerima gaji, ane biasanya langsung membagi-bagi uang ane tersebut. Jadi sekian untuk tabungan, sekian untuk orang tua, sekian untuk orang tua, sekian untuk tagihan bulanan rutin (transportasi, telepon, internet). Baru kalau sudah dibagi-bagi, sisanya ane pakai untuk jajan. Nah sisanya ini bebas, mau ane habiskan juga sebenarnya tidak masalah.
Kalau kata ibu ane:
Mama pas seumuran kamu ngebaca di chicken soup,. jadi kita harus punya tabungan setara kebutuhan hidup 1 tahun. Jadi kalau misal ada kenapa-napa, nggak bingung. Orang lain biasanya gajinya dihabisin., jadi kalau misal ada kondisi seperti sekarang (karantina, pengurangan gaji, atau bahkan PHK), bingung kan.
Mencari alternatif yang murah
Sebisa mungkin, ane cari hal pokok/pengeluaran yang minimal tiap bulan, sehingga ane bisa hemat banyak. Contoh, karena di rumah dan kantor ane ada wi-fi, ane tidak butuh paket internet yang mahal-mahal banget. Yang penting bisa memenuhi kebutuhan bulanan. Akhirnya ane beli paket internet bulanan yang paling murah : 50 ribu. itu pun sebenarnya paket internetnya masih banyak sisa. Ga papa, bisa dipakai buat darurat.
Mengenal diri sendiri dan belajar menahan nafsu
bentar. maksudnya? Ya begitu. Lebih kenal diri sendiri biar tahu mana yang memang dibutuhkan, mana yang memang benar-benar ingin, atau cuma nafsu sementara saja.
Ini bermanfaat banget dalam manajemen keuangan, apalagi di masa banyak banget diskon-diskon.
"Wah ada diskon grabfood nih, pake ah. sayang ga dipake"
"Shopee lagi ada flash sale 1212. duh kudu siap-siap nih biar dapet yang diskon"
"Ih barangnya bagus deh. pengen... tapi uang bulanan udah abis. Yaudah lah ya gapapa ambil di tabungan dikit, bulan depan ga ngulang lagi" (dan berulang di bulan berikutnya)
Itu di atas, adalah contoh kalo misal tidak kenal diri sendiri dan gampang terbawa nafsu. Apalagi contoh ketiga. Biasanya itu yang bikin orang jadi tidak punya tabungan.
Dengan mengenal diri sendiri dan belajar menahan nafsu, ane bisa mengetahui apa yang benar-benar ane inginkan. Alhasil, ane jadi meminimalisir jajan dan hanya mengeluarkan uang untuk hal yang benar-benar ane inginkan. Ada barang yang benar-benar mau ane beli tapi itu harganya mahal banget? Tiap bulan berusaha hemat jajan, sisihkan uang jajan sekian biar bisa beli barang mahal yang ane ingin tersebut.
Bahkan ane pun sudah kebal dengan diskon yang ada di olshop dan notifikasi aplikasi ojol. ya ga pengen nan ga butuh :( akhirnya ane matikan notifikasinya.
Merapihkan barang-barang yang dimiliki
Ini berlaku untuk barang fisik, ataupun barang digital (file HP, ebook, video yang dimiliki, dan lainnya).
Terkadang impulsif untuk membeli bisa muncul kalau misal sedang bosan. Kalo bosan, bawaannya mau lihat-lihat online, terus beli sesuatu biar tidak bosan.
Terkadang kita suka lupa, kalau sebenarnya kita punya banyak. Cukup banyak untuk mengatasi kebosanan pribadi.
Dengan masa karantina ini, ane berkesempatan untuk merapikan barang-barang yang ane miliki. Ane pilah dan kumpulkan, jadi ane tahu ane punya apa saja. Setelah didata dan dikumpulkan, ternyata banyak banget: buku (digital atau fisik), mainan, pajangan, perkakas, dan lainnya. Dan itu juga banyak yang ane tidak pakai sejak lama. Ada rasa sedikit menyesal dulu sering-sering jajan tidak penting, apalagi kalau jajannya karena impulsif dan nafsu yang terdistorsi. Memang sih uang yang ane pakai memang uang untuk jatah jajan, tapi barang yang dibeli jadinya mubazir. Makanya, ane mencoba kalau misal bosan ane menikmati barang-barang yang ane miliki. Kalau misal ada barang yang memang ane tidak pakai lagi, lebih baik ane coba sedekahkan. pakaian ane yang sudah lama, buku yang sudah tidak terpakai, dan lainnya.
Terakhir, ane cukup menutup saja dengan hadist ini.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“*Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir jilid 10 hal 8 Hadits no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam *Silsilah al-AHadits ash-Ashahihah* no. 946)