Saat hari jum'at, Ane mendapat jarkoman yang isinya undangan buat mahasiswa ikut forum terbuka BEM. Sebelumnya pernah mendengar soal isu ini sih, dikasih tau temen. Jarkoman itu sukses membuat Ane kepo dan ingin tahu isinya. Sayangnya, Ane hari itu sedang tidak kuliah, jadi hanya bisa bertanya-tanya ke teman yang ikut.
...dan ternyata, forum tersebut membahas mengenai adanya forum di atas forum internal BEM, atau singkatnya ada golongan atau organisasi di dalam organisasi. Itu sebenarnya hal biasa sih ya di dunia perpolitikan kampus. Hampir banyak universitas besar juga seperti itu. Walau misal Ane tau dan kemudian dibeberkan di tulisan ini apa-apa kenyataanya, ane nggak tertarik. Toh ini sudah menjadi rahasia umum, jika semua pihak ingin jujur.
Yang menarik dari pembahasannya, adalah bagaimana kenyataan isu ini bisa ditutupi dan kemudian dialihkan.
Bagaimana mengatakannya, jika dari info yang Ane dapat, ada tiga variabel besar dalam forum tersebut. Variabel pertama adalah penagih; yakni yang menguak isu forum tersebut. Variabel kedua adalah tersangka; yaitu orang-orang dalam internal BEM yang dituduh merupakan "golongan". Terakhir, Variabel ketiga adalah penanya; yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam forum dan meminta kejelasan isu yang bersangkutan.
Konsep forumnya adalah, penagih membeberkan fakta-fakta dan bukti yang menjadi bukti dan dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya ke tersangka. Kemudian setelah dibeberkan, penanya bertanya ke tersangka. Yah tipikal forum begitu sih.
Ane merasa tertarik dengan cara tersangka menjawab pertanyaan. Dari tiap pertanyaan, pasti bisa dijawab dan jawabannya seolah ingin membuktikan bahwa isu tersebut salah. Yah walau entah apakah jawabannya tersebut memang kenyataan atau hanya merupakan penutupan fakta.
Sebenarnya heran sih Ane, ini sudah merupakan rahasia umum, sudah banyak yang tahu, tetapi kenapa terus ditutupi? Kenapa tidak terbuka saja untuk membuat jelas mana hitam dan mana putih? Jika ketahuan ini bohong, maka akan berdampak ke kredibilitas individu maupun BEM-nya sendiri. Pun bukan hanya ke mahasiswa biasa, kebohongan kita kan dicatat oleh malaikat, dan nanti dipertanggungjawabkan. Apa nggak takut sama Allah kalau berbohong, apalagi jika sampai sumpah palsu (naudzubillah, jangan sampai). Jika memang benar, mengapa tidak terus terang saja? Itu juga bisa membuat hati lebih lega toh.
Atau, apa karena memang sudah sistemnya tertutup, alias dakwah secara sembunyi-sembunyi? Sebenarnya, sistem dakwah secara sembunyi-sembunyi di Indonesia itu malah bisa menimbulkan kecurigaan. Karena, jika memang benar, mengapa perlu sembunyi? Justru sembunyi lebih banyak mudharatnya, seperti terpaksa berbohong untuk menutupi sistem yang tersembunyi tersebut, atau hati jadi tidak tenang karena khawatir hal tersembunyi itu diketahui khalayak umum.
Pada Zaman Rasulullah, memang ada dakwah secara sembunyi-sembunyi, tetapi itu saat islam masih baru datang. Bahkan, dakwah secara sembunyi-sembunyi ini digantikan menjadi dakwah secara terbuka dengan turunnya Surah al-Hijr ayat 94. Adapun dakwah sembunyi-sembunyi ini dilakukan karena Rasulullah masih sekedar mengajak kerabat yang dekat-dekat dulu saja, kemudian kaum Kafir Quraisy juga anteng-anteng saja karena dakwah Rasulullah belum menyinggung ajaran-ajaran dan berhala mereka. Setelah ayat tersebut turun, barulah Rasulullah dakwah secara terang-terangan, walau cacian dan ancaman bunuh menghantui mereka. Bahkan Rasulullah menolak kekuasaan dan harta yang ditawarkan dengan ditukar dakwahnya. Memang pengajaran islam masih ada yang sembunyi-sembunyi saat perintah ini turun, tetapi ini karena Rasulullah dilindungi, jadi bukan disembunyikan secara keseluruhan. Pun kaumnya, walau diancam siksa dan bunuh, tetap jujur bahwa mereka berada di atas agama yang haq itu. Jika kita memang kaum Rasulullah, mengapa kita tidak memahami dan menerapkan sejarah hidup beliau dengan benar?
Belum ditambah jika bohong. Ingat, Rasulullah bilang barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam. Keraz tuh penekanan awalnya. Pun berbohong, hanya boleh dalam 3 hal : Dalam perang, mendamaikan 2 orang yang berselisih, dan bohongnya suami pada istri (atau sebaliknya) untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Jadi, ga ada ya yang namanya berkata baik walau harus bohong.
Memang ada apa dah dengan golongan? Begitu banget keknya menanggapi isunya. Kan orang bebas bergolong-golongan.
Yah paham sih, mungkin isu ini bisa dialihkan kalau ada yang menengahi dengan pesan-pesan atau tulisan seperti di atas, apalagi kalau yang nulis orang berpengaruh. Atau mungkin bisa jadi memang pemahaman mengenai golongan yang dipaparkan pada pertanyaan di atas memang merupakan pemahaman yang umum dipahami, yakni bahwa orang bebas kalau mau bergolong-golongan. Sayangnya, tulisan yang menyangkutpautkan dengan ini bikin mengira kalau bergolongan itu wajar walau kadang sampai berlebihan. Sayangnya itu salah.
Ane ngeri kata-kata tersebut berpotensi berubah menjadi kata-kata yang memutarbalikkan fakta. Kita memang bebas bergolong-golongan, serah lu mau jadi golongan M, atau mau jadi golongan S, bebas. tetapi yang salah adalah, jika kepentingan golongan ini dicampurbaurkan dengan kepentingan publik yang bukan pada tempatnya. Pun jika "golongan" ini menjadi standar penilaian seseorang dan kebenaran. Bahkan dalam agama pun, kita ga boleh fanatik dengan golongannya sendiri. Terlihat bagaimana Rasulullah marah dengan berkata ada apa dengan panggilan jahilliyah ini? Saat Kaum muhajirin dan anshar berselisih sehingga tiap-tiap kaum memanggil dengan sebutan kaumnya sendiri (Muhajirin dan Anshar). padahal islam ya islam. Toleransi perlu, tetapi kalau berlebihan sampai membenarkan yang salah bahkan sampai menyentuh ranah prinsip, itu sudah berlebihan dan tak boleh.
Akhirnya, menarik memerhatikan kelanjutan isu ini, walau mungkin sudah terbaca ini isu bakalan dibawa ke mana. Hanya saja, semoga nggak sampai jadi chaos aja udeh.