image-logo
Dari pengalaman pribadi me-mentor banyak orang (baik mentor langsung atau tidak langsung, informal atau tidak formal), aku belajar banyak hal agar bisa menjadi mentor yang baik. Bekal dari belajar banyak hal, pengalaman dan praktik yang didapat langsung, walau terkadang melakukan kesalahan, tapi banyak hikmah yang bisa didapat. Dan walau namanya "Mentoring", beberapa pelajaran yang didapat ini bisa untuk bersosialisasi juga. Karena pada dasarnya, mentoring itu sosialisasi juga yang ditambah dengan membagikan pengalaman dan membantu.
post
/post/mentoring-sosialisasi/
Pelajaran Mentoring, dan Bersosialisasi

Pelajaran Mentoring, dan Bersosialisasi

Dari pengalaman pribadi me-mentor banyak orang (baik mentor langsung atau tidak langsung, informal atau tidak formal), aku belajar banyak hal agar bisa menjadi mentor yang baik. Bekal dari belajar banyak hal, pengalaman dan praktik yang didapat langsung, walau terkadang melakukan kesalahan, tapi banyak hikmah yang bisa didapat.

Dan walau namanya "Mentoring", beberapa pelajaran yang didapat ini bisa untuk bersosialisasi juga. Karena pada dasarnya, mentoring itu sosialisasi juga yang ditambah dengan membagikan pengalaman dan membantu.

Berikut pelajaran-pelajaran yang aku dapatkan:

Bersihkan Niat

Apa tujuan utama kita melakukan mentoring? membantu? pamer? atau iseng saja? Apapun itu, niat itu penting karena itu merupakan gerbang pembuka utama dari suksesnya mentoring yang kita lakukan.

Walau misal mentoring itu manfaatnya untuk orang lain, tapi kita juga akan memetik buahnya.

Dan niat ini, perlu diperbaiki terus-terusan; bukan hanya di awal saja. Karena niat dan praktiknya bisa berubah-ubah. Bisa jadi mungkin di awal niat kita tulus, tapi di tengah jalan praktiknya menyimpang, dan dalam hati menjadi sombong merasa lebih tinggi dari mentee-mu.

Luruskan niat untuk membantu dan berbagi ilmu, untuk menjadi orang yang bermanfaat. Bersihkan hati dari rasa angkush dan sombong, merasa tinggi karena mendidik. Padahal bisa jadi dalam hal lain menteemu lebih baik dari dirimu.

Belajar terus dan Kembangkan diri

Sebagai mentor, bukan berarti ilmu yang dimiliki sudah sempurna; bahkan belum. Tidak ada orang di dunia ini yang punya ilmu sempurna.

Lalu, pada dasarnya belajar itu ke siapa saja; bahkan mentee-mu sendiri. Kita bisa dapat ilmu di mana saja.

Tetap belajar, dan perbanyak ilmu yang dimiliki. Makin banyak ilmu yang dimiliki, makin banyak yang bisa dishare ke mentee.

Arahkan, bukan Suapi

Tiap mentee itu unik; Punya latar, tingkat kemampuan, dan cara belajar yang berbeda-beda. Daripada suapi mereka dengan seluruh materi dan cara yang sama, lebih baik arahkan mereka agar mereka mencari secara independen jawaban atas masalah mereka, cara itu lebih membantu mereka untuk belajar.

Ini artinya juga, apa yang kita lihat sebagai kekurangan di dalam diri mentee, bukan berati itu hal yang harus diperbaiki. Tiap manusia itu unik; sesuatu yang kita lihat kekurangan, pasti ada kelebihannya.

Samakan Sudut Pandang dengan Mentee

Penting untuk bisa jadi pendengar yang baik agar kita bisa memahami penuh maksud si mentee. dan agar kita bisa adaptasi cara komunikasi dan mengajar kita ke mentee. Inget, si mentee baru belajar, beda sama kita yang udah paham. Istilahnya, mentor bisa jadi sudah level 50, tapi mentee baru level 1. Tentu tak bisa disamakan.

Ingat kalau misal Mentee akan Mengikuti Kita, bahkan untuk hal yang kita lakukan secara tidak langsung

Ini yang agak menakutkan, karena besarnya tanggung jawab yang dirasakan. Tapi, mentee -terutama yang dekat, akan mengikuti tingkah mentornya; baik yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Kalau kita kaku, mentee akan mengikuti kaku. Kalau misal kita santai dan luwes, menteepun juga sama.

Karena itu, sebagai mentor kudu sering-sering refleksi dan sadar, bahwa misal hal yang kita lakukan tanpa sadar pun bisa diikuti.

Sadar kapan harus stop

Walau rasanya mau sharing semua hal yang kita tahu, yang perlu kita ingat adalah kita harus sadar ada kalanya kita harus stop, dan melepas mentee untuk berjalan sendiri.

Tidak semua hal harus kita ajarkan ke mentee; lebih bagus jika kita memberikan kesempatan ke mentee untuk menentukan jalan mereka sendiri, mencari ilmu mereka sendiri. Memberikan mereka kebebasan.

Dan terakhir, imbas dari ini...

Harus belajar untuk "Lepas Tangan" dari Hasil Akhir

Hal terakhir dan terpenting untuk diingat, adalah outcome mentee bukan tanggung jawab kita sebagai mentor. Apakah mentee menerima dan menerapkan semua pelajaran yang kita berikan? Atau tidak? atau bahkan mereka menemukan cara lain?

Itu bukan urusan kita. Kita sebagai mentor cukup bimbing dan arahkan saja, apa yang mentee dapat ke depannya, terserah mentee.

Ini menurutku yang paling berat. Sebagai mentor, kita ingin agar apa yang kita ajarkan dilakukan mentee sepenuhnya. Tapi pada dasarnya, ini seperti menasihati teman; itu hidup mereka. Yang bisa kita lakukan, hanya memberikan dan berharap agar ilmu yang kita berikan bisa bermanfaat untuk mereka.


Menjadi mentor itu sekilas terlihat mudah, tetapi mendidik itu sulit. Ilmu yang banyak tidak menjamin seseorang adalah pendidik yang baik. Dan seperti ilmu-ilmu lain, makin dilatih makin berkembang.

Nb.

Jujur aja, aku merasa semua hal adalah tanggung jawabku; mungkin karena aku adalah anak pertama. Tapi, walau niatku baik, aku sadar tindakanku terkadang mengenai batas egois dan sombong (yes, karena merasa ilmu yang dipunya lebih besar dari yang dididik atau ditargetkan). Dan keegoisan itu, salahsatunya adalah berharap akan suatu akhir yang diinginkan pribadi, dan sombong karena meremehkan orang lain, dan merasa diri sendiri lebih baik.

Dan ini pada akhirnya kembali ke masalah utama yang aku rasakan: Tawakkal. Aku merasa kesuksesan itu terikat pada hasil akhir, bukan proses. Aku tidak tawakkal, tidak memercayai proses yang tidak tampak; atau tidak menerima hasil yang tampak namun tidak sesuai harapan. Padahal itu semua takdir Allah, dan keputusan tiap mentee...

Aku ingin seperti padi, makin berisi makin merunduk. Fokus untuk mengisi diriku dengan beras ilmu, dan merundukkan diriku agar jauh dari kesombongan. Dengan merunduk, aku bisa memberi teduh dan bekal untuk orang-orang yang berteduh di bawahku, walau aku tidak tahu mereka akan kemana.

Penulis: Riza Kariza