image-logo
Berlebihan bisa menjadi berlebihan (atau kelewat batas) tanpa kita sadari, dan khawatirnya bisa membuat kita tidak sadar kalau kita sudah terlalu 'berlebihan'.
post
/post/when-too-much-is-too-much/
Saat Berlebihan menjadi terlalu "Berlebihan"

Saat Berlebihan menjadi terlalu "Berlebihan"

Tau konsep hive mind?

sederhananya, hive mind itu mengikuti mainstream. Pendapat pribadi mengikuti pendapat umum. Terkadang, kalau misal kita punya pendapat atau pikiran, kita crosscheck atau pastikan dulu dengan pendapat umum; bagaimana tanggapan orang-orang terhadap tanggapan tersebut? Kemudian kita berusaha menyamakan dengan tanggapan orang-orang. Kalau pendapat kita berbeda, kita cari yang sama.

Singkatnya, mencari pembenaran.

Kita takut kalau misal pendapat kita nggak sama dengan orang lain. gimana kalau pendapatku nggak sama kayak orang banyak? coba cek2 dulu, mungkin ada yang sama. Pikiran-pikiran seperti itu.

Pembenaran ini, kemudian menjadi landasan untuk mengikuti hawa nafsu yang tidak ada habis-habisnya. Katakanlah, kita ingin A, tetapi kita ragu apakah A ini bermanfaat. Akhirnya kita coba cari-cari informasi untuk meminta pembenaran ke orang lain. Dan banyak yang bilang, A ini bermanfaat. Akhirnya kita membeli A tersebut. Mengatakan ke diri sendiri, kalau A akan bermanfaat untuk kita. Dan membenarkan ke diri sendiri dengan mengatakan 'ini terakhir'.

Lalu kemudian kita mengulanginya lagi, dan lagi, dan lagi.

Hingga kita memiliki terlalu banyak, mengambil terlalu banyak. Mungkin Beberapa ada yang sudah dibuang, tetapi tetap yang kita ambil, karena mengikuti nafsu kita, sangat banyak sampai kita pun bingung sendiri.

Mungkin bisa dibayangkan beli baju baru, atau tas baru. Yang sebenarnya kita tidak butuh-butuh banget, tapi kita ingin. Karena ingin memuaskan keinginan, kita memanfaatkan hive mind. Membenarkan tidakan diri sendiri dengan mengatakan, "mayoritas juga seperti ini."

Akhirnya, kita tidak berpikir dengan otak kita sendiri lagi. Kita hanya mengikuti arus, mengikuti gairah, hanyut tanpa arah, hingga akhirnya tenggelam di dalam buah yang kita petik karena nafsu tetapi tidak kita nikmati. Walau dalam hati pun kita tahu, perut kita sudah terlalu kenyang untuk memakan buah tersebut. Sampai-sampai ingin muntah hanya dengan melihat buah-buah yang kita kumpulkan tersebut.

Walau begitu, kita tidak bisa berhenti.

Bukan, kita tidak tahu bagaimana caranya berhenti.

Kita ingin berhenti, tetapi tidak tahu bagaimana caranya?

Kita melihat orang-orang. Berharap ada yang dapat memberi petunjuk. Namun sayang, kondisi mereka tidak jauh seperti kita. Berjalan mengikuti laju mayoritas, seperti lebah yang terbang ke arah madu. Merekapun tidak tahu, apakah memang ujung dari yang mereka tuju itu memang madu atau bukan. Melihat orang-orang itu dari luar, untuk pertama kalinya kita berpikir; seram sekali sambil merinding membayangkan orang-orang tersebut yang seperti zombie.

Dan kita jadi berpikir, kalau kita tidak bisa mengandalkan mereka. tidak ada yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah ini.

Lalu bagaimana, pikir kita, cara agar kita bisa keluar dari arus ini?

Ikuti kata hati kita. Kita menelan ludah. Hanya kita yang tahu persis apa yang kita inginkan. Hanya kitalah yang tahu persis apa yang kita butuhkan. Hanya hati kitalah yang mengetahui kemana kita harus menuju.

Tetapi, bagaimana kalau kita salah? Bagaimana kita tahu kalau pilihan kita adalah yang terbaik? Lalu bagaimana, jika kita tidak mengikuti keinginan tersebut, ternyata memang kita membutuhkannya?

Bagaimana kalau kita salah?

Teman, memang kenapa kalau kita melakukan pilihan yang salah? Bukannya dari kesalahan tersebut kita jadi bisa belajar? Yakinkanlah dirimu. Bukan dengan mengikuti nafsu, bukan dengan mengikuti suara terbanyak, tetapi dengan mengikuti hati kita. Ketika di awal mungkin terasa aneh, tapi setelah terbiasa, kita akan makin yakin dengan diri kita. Kita jadi mengenal diri kita dengan lebih baik, sehingga kita yakin dengan pilihan tersebut.

Karena itu, mari kita mulai melangkah, mengikuti isi hati kita. Semoga kedepannya, kita bisa makin mengenal diri kita sendiri dengan lebih dalam.

Penulis: Riza Kariza